Gunungan

BEN_2869Gunungan  ditampilkan pada saat awal pertunjukan wayang. Terdapat dua jenis yaitu gunungan gapuran (laki-laki) dan gunungan blumbungan (perempuan). Gunungan biasa dimainkan setiap sang dalang akan memulai dan mengakhiri pertunjukan wayang (tancep kayon). Gunungan dimainkan untuk menandai setiap babak yang dimainkan. Bisa pula dimainkan untuk menggambarkan sesuatu seperti: gunung, pohon besar, ombak samudra, angin ribut, api berkobar hebat dan gua.

Gunungan juga melambangkan pohon kehidupan— Kalpataru, yang bercabang delapan sebagai lambang awal dan akhir. Karenanya gunungan wayang juga melambangkan konsep mitos jawa: sangkan paraning dumadi. Pohon yang tergambar adalah pohon nagasari yang selain indah bentuknya juga kuat dan dianggap membawa pengaruh baik bagi orang disekitarnya. Sebagai perlambang, pohon pada gunungan melukiskan pohon yang ada di kahyangan, yaitu pohon Dewandaru yang dianggap membawa pengaruh keabadian atau kelanggengan.

Gambar pohon dalam gunungan melambangkan kehidupan manusia di dunia ini. Beberapa jenis hewan yang berada di dalamnya melambangkan sifat, tingkah laku dan watak yang dimiliki oleh setiap orang. Kebo=pemalas, monyet=serakah, ular=licik, banteng=lambang roh, anasir api dengan sifat kekuatan nafsu amarah, naga= lambang roh, anasir air, burung garuda: lambang roh, anasir udara. Gambar kepala raksasa itu melambangkan manusia dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki sifat tamak, jahat seperti setan. Gambar ilu-ilu banaspati melambangkan bahwa hidup di dunia ini banyak godaan, cobaan, tantangan dan mara bahaya yang setiap saat akan mengancam keselamatan. Gambar samudra dalam gunungan melambangkan pikiran manusia. Gambar Cingkoro Bolo – Bolo Upoto memegang tameng dan godho dapat diinterpretasikan sebagai lambang penjaga gelap dan terang. Gambar rumah joglo melambangkan rumah atau negara yang di dalamnya ada kehidupan yang aman, tenteram dan bahagia. Gambar raksasa digunakan sebagai lambang kawah candradimuka yakni sebuah pesan terhadap kaum yang berbuat dosa akan dimasukkan ke dalam neraka. Gambar api merupakan simbol kebutuhan manusia yang mendasar karena dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di balik gunungan blumbungan terdapat sunggingan yang menggambarkan api yang sedang menyala. Ini merupakan candrasengkalan yang berbunyi “geni dadi sucining jagad” yang artinya 3441 dan apabila dibalik menjadi 1443 tahun saka. Itu diartikan bahwa gunungan tersebut diciptakan oleh Sunan Kalijaga pada tahun 1443 saka = 1521 masehi pada masa pemerintahan Raden Patah. Sedangkan gunungan gapuran (gerbang) sendiri digunakan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II, dengan senkalan “Gapura lima retuning bumi” atau 1659 saka = 1734 masehi.

Gunungan dapat diartikan lambang Pancer, yaitu jiwa atau sukma, bentuknya yang segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsur cipta, rasa, karsa. Sedangkan lambang gambar segi empat melambangkan sedulur papat dari anasir tanah, air, api dan udara. Gunungan atau kayon merupakan lambang alam bagi wayang dimana menurut kepercayaan Hindu secara makrokosmos gunungan yang sedang diputar-putar oleh sang dalang, menggambarkan proses bercampurnya benda-benda untuk menjadi satu dan terwujudnya alam beserta isinya. Benda-benda tersebut dinakan Panca Maha Bhuta, lima zat yakni: Banu (sinar-udara), Bani (Brahma-api), Banyu (air), Bayu (angin) dan Bantala (bumi-tanah).

Makna yang terdapat dalam pohon kalpataru dalam gunungan tersebut berarti Brahma mula yang bermakna bahwa benih hidup dari Brahma. Lukisan bunga teratai yang terdapat pada umpak (pondasi tiang) gapura, mempunyai arti wadah (tempat) kehidupan dari Sang Hyang Wisnu, yakni tempat pertumbuhan hidup. Berkumpulnya Brahma mula dangan Padma mula kemudian menjadi satu dengan empat unsur, yaitu sarinya api yang dilukiskan sebagai halilintar, sarinya bumi yang dilukiskan dengan tanah dibawah gapura, dan sarinya air yang digambarkan dengan atap gapura yang menggambarkan air berombak. Dari kelima zat tersebut bercampur menjadi satu dan terwujudlah badan kasar manusia yang terdiri dari Bani, Banyu, Bayu dan Bantala, sedangkan Banu merupakan zat utamanya.

Sumber:

1. Lastzie’s Blog                                                                                                                            2. Gunungan – Wikipedia Bahasa Indonesia                                                                    3. Gambar Kayon – Ki-demang.com                                                                                   4. Filosofi Gunungan Wayang Kulit – filsafat.kompasiana.com

Drawing by abbysoekarno, 2011

Kalpataru

KaBEN_2859lpataru adalah pohon yang mengabulkan permintaan ( the wish granting tree) dalam mitologi Hindu. Tulisan mengenai pohon ini ditemukan dalam literatur Sansekerta dari sejak awal (Rigveda). Secara kiasan melambangkan sumber yang berlimpah. Di India pohon kelapa dikenal dengan sinonim “kalpataru” karena menyediakan banyak kebutuhan manusia. Di Indonesia, ada penghargaan yang dinamakan Penghargaan Kalpataru, dimana diberikan kepada pihak yang bersangkutan jika pihak tersebut melaksanakan penanaman tumbuhan atau pohon dengan tugas yang mulya.

Salah satu relief pada Candi Pawon (abad ke-8) di Jawa, Indonesia menampilkan citra Kalpataru, pohon hayat yang dijaga Kinnara-Kinnari, Apsara dan Dewata. Pasangan Kinnara-Kinnari dapat pula ditemukan pada relief di  candi Borobudur, Mendut, Pawon, Sewu, Sari dan Prambanan. Pohon yang melambangkan pengayoman ini berasal dari kata Kalpa yang berarti kehidupan dan taru yang berarti pohon; pohon kehidupan. Secara luas pohon ini memberikan makna mengayomi, meneduhkan dan menentramkan bagi kedua belah pihak yang berbeda dan memberikan teladan bagi para penguasa untuk dapat melindungi, mendamaikan dan menentramkan rakyatnya.

Kalpataru (latin: Adansonia digitata-baobab) adalah pohon mitologis dalam kepercayaan Hindu, yang melambangkan pohon sakti pengabul segala kehendak ( a wish-fulfilling divine tree) yang dibutuhkan oleh umat manusia. Distiap cabangnya tumbuh berbagai macam buah dan bunga yang diinginkan dan diyakini memiliki kebajikan bagi siapapun yang memakan buahnya dapat menikmati kehidupan abadi.

Ketika Indra—raja dari segala dewa—kehilangan kerajaannya, Ia menghadap Dewa Wishnu, Sang Maha Esa untuk meminta bantuanNya agar dapat meraih kembali. Dewa Wishnu menasihati agar dirinya memasuki samudra untuk memperoleh air suci amrita  sehingga Indra dan para dewa dapat memperoleh kehidupan abadi dan mampu mengambil alih kembali kerajaannya yang hilang.

Empat belas pusaka muncul dari dalam samudra saat Indra menyelami kedalaman laut dimana salah satunya yang utama adalah Kalpavriksha—pohon pengabul segala kehendak, Kamadhanu—sapi pengabul segala kehendak, dan Dhanvatari—seorang tabib—penjelmaan dari Wishnu, musuh dari segala macam penyakit yang memberinya Ayurveda, ilmu penyembuhan.

Bersama dengan Kamadhanu atau ‘sapi pengabul segala kehendak’, Kapavriksha yang  ‘muncul saat menyelam lautan’ dan raja dari segala dewa, akhirnya Indra berhasil kembali ke surga. Kalpavriksha dilambangkan sebagai sumber rejeki karena kemampuannya yang dapat memenuhi segala kebutuhan manusia. kalpavriksha atau Kalpataru adalah pohon yang tenar dapat memberikan efek kesehatan dan sebagai mitos dikenal sebagai ‘pohon pengabul segala kehendak.’

Sumber:                                                                                                                                          1. Kalpavriksha – Wikipedia, the free encyclopedia                                                     2. Kalpataru Tree: The wish-granting tree. Metaphysics knowledge

Drawing by abbysoekarno, 2011

Memoirs of a Geisha

BEN_2818“She paints her face to hide her face. Her eyes are deep water. It is not for Geisha to want. It is not for Geisha to feel. Geisha is an artist of the floating world. She dances, she sings. She entertains you, whatever you want. The rest is shadows, the rest is secret.” —Arthur Golden’s Memoirs of a Geisha.

 

 

The Endless Bar.

Looking up at the sky, at all the stars./Remind me  how we meet each other/But somehow I remember the old scars/Sadly that is something I stop bother/For cupid has lost his very dear job/And I have forgotten the one I loved/Love is something that comes on every sob/The sad feeling of being pressed and caved/ when sweet spring turns into bitter winter/All you can do is to cry all day long/When you turn me into a poor old litter/All I do is sing the unfinished song.

 

Poem by Sonya Indira Abby Soekarno

Drawing by abbysoekarno, 2011.

Megamendung

BEN_2832“Memory is describe of the soul”—–Aristoteles.

“Can you describe the day for me?”

“Cloudy?”

“No, no…”

“Make the words yours, if your eyes could speak, what would they say?”

“It’s the pale day. Everything start behind the cloud. When the sun doesn’t look the sun.”

“What they look like?”

“Like a silver moisture.”

 

Markus Zusak’s  “The Book Thief.”

Drawing by abbysoekarno,2011

Adakah Sang Buddha?

BEN_2825Cuplikan termashur tanya jawab antara raja Milinda dengan Nagasena yang membahas bukti tentang keberadaan Sang Buddha:

“Apakah Anda pernah melihat Sang Buddha, Nagasena?”

“Belum pernah, Sri Baginda”

“Lalu apakah para guru Anda pernah melihat Sang Buddha?”

“Belum pernah, Sri Baginda.”

“Kalau begitu Nagasena yang terhormat, tidak ada Sang Buddha.”

“Tetapi, raja agung, apakah Baginda pernah melihat sungai Uha di pegunungan Himalaya?”

“Belum pernah, Yang Arya.”

“Ataukah ayahanda pernah melihatnya?”

“Belum pernah, Yang Arya.”

“Kalau begitu Sri Baginda, apakah tidak ada sungai itu?”

“Memang ada. Walaupun saya sendiri maupun Ayahanda belum pernah melihatnya, namun sungai itu benar-benar ada.”

“Begitu pula, raja agung, meskipun saya sendiri maupun para guru saya belum pernah melihat Dia Yang Berbahagia, namun tokoh seperti itu ada.”

“Bagus sekali, Nagasena!”

(Tentang Pertanyaan-pertanyaan Raja Milinda).

 

Drawing by abbysoekarno,2011

Batik Lawas

BEN_2835Batik lawas merupakan batik lama yang sudah tidak diproduksi lagi. Walaupun tampilannya telah tua dan memudar, tidak jarang para kolektor mencari sampai ke pelosok negeri hanya untuk sebuah karya batik lawas dengan motif tertentu. Banyak kita temui corak yang ada di batik lawas sudah banyak versi barunya. Akan tetapi, umur batik lawasanlah yang membuatnya lebih berharga dari batik baru. Tidak mudah menemukan corak batik tertentu yang dibuat dari tahun yang sama. Terlebih lagi, proses pencucian alami membuat batik lawas memiliki efek warna yang unik dan berbeda dengan batik baru. Batik lawasan bukan lagi sekedar batik melainkan barang antik yang layak dikoleksi. Jika batik lawasan bukanlah sesuatu yang berharga, rasa-rasanya museum tidak akan memajang batik tua alias batik lawas.

Keeksklusifan batik lawas sangat berbeda dengan batik modern. Bahan kainnya lebih lembut karena menggunakan bahan import dari Belgia dan sangat sulit menemukan kain tersebut saat ini. Begitu juga dengan teknik pewarnaan dan pengeringannya yang dilakukan secara alami, sehingga menghasilkan karya yang tidak mungkin dibuat ulang. Dari warna dan rapuhnya kain. Kain yang bagus, kusam dan cerahnya warna kelihatan. Warna coklat soga alami dan kimia pada sehelai kain batik akan terlihat berbeda. Bisa saja si penjual batik bilang batik kuno atau lawas, karena itu harus dilihat dulu secara cermat. Sebab ada teknik bagaimana membuat kain batik terlihat seperti lawas.

Kain batik lawas yang dijadikan koleksi biasanya memiliki makna dan filosofi tinggi. Nilai jual kain batik tersebut mencapai puluhan hingga ratusan juta tergantung keunikan kainnya, proses pembatikan, warna, dan umur kainnya. Kalau desainnya langka, dan tak bisa ditiru, itu akan menentukan harganya juga. Rata-rata yang menjadi koleksi adalah kain batik yang dibuat mulai tahun 1920an hingga tahun 1970an, bahkan lebih tua dari itu.

Terdapat banyak jenis batik lawas, misal batik madura, batik tiga negeri, batik hokokai, batik encim, dan lain sebagainya. Batik tersebut biasanya ditandai sign atau tanda tangan dari si pembuat batik tersebut.

Batik Madura dengan beragam corak, seperti Bangkalan asli Tanjung Bumi, Sampang Pamekasan dan corak Sumenep. Nama kain batiktersebut adalah mano’ juduh tarpotè kellengan, tarpotè bangan, burubur, rawan mèra, dan tana pasèr mèra. Untuk batik Tanjung Bumi ini ternyata sudah dibuat sejak ratusan tahun lalu, sekitar 200 tahun. Jenis mano’ juduh tarpotè kellengan yang banyak diminati para kolektor dan pemilik museum.

Batik Encim yang dipelopori oleh Batik Oei Soe Tjun yang tinggal di Kedungwuni, menjadi salah satu pelopor pembuatan batik halus dengan cara tradisional. Terdapat tanda tangan Oey Soe Tjoen yang merupakan ciri khas batik encim Kedungwuni.

Batik tulis lawasan yang dibuat oleh Na Swan Hien, Kedungwuni, Pekalongan, dengan motif burung phoenix latar ukel memiliki proses pengerjaan dan garapan yang sangat halus menjadikan batik karya Na Swan Hien sangat digemari dan diburu oleh para kolektor batik antik. Cecekannya sangat halus karena menggunakan canting “0”, memberikan efek 3dimensi dan gradasi warna yang sangat indah. Batik ini dibuat tahun 1945 dengan menggunakan mori Belanda.

Batik Hokokai adalah salah satu contoh gaya batik yang paling banyak berisi detail, menggabungkan ciri pagi-sore, motif terang bulan, dan tanahan Semarangan. Batik Hokokai menggunakan latar belakang yang penuh dan detail yang digabungkan dengan bunga-bungaan dalam warna-warni yang cerah. Motif terang-bulan awalnya adalah desain batik dengan motif segi tiga besar menaik secara vertikal di atas latar belakang yang sederhana.

Batik Hokokai adalah salah satu contoh gaya batik yang paling banyak berisi detail, menggabungkan ciri pagi-sore, motif terang bulan, dan tanahan Semarangan. Batik Hokokai menggunakan latar belakang yang penuh dan detail yang digabungkan dengan bunga-bungaan dalam warna-warni yang cerah. Motif terang-bulan awalnya adalah desain batik dengan motif segi tiga besar menaik secara vertikal di atas latar belakang yang sederhana.

 

Sumber: Fitinline.com

Drawing by abbysoekarno,2011

Semar

BEN_2845Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sanskerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Sejarah Semar
Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala[rujukan?]. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439[rujukan?].


Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.
 
Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

 
Pasangan Panakawan / Punokawan
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

 
Bentuk Fisik
Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.
Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.
 
 
Keistimewaan Semar
Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.
Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.
 
Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah – yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar – mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.
 
 
 
Sumber: Wikipedia
 
Drawing by abbysoekarno,2011

Who Am I

BEN_5143This passage from the Questions of King Menander is among the best known arguments in favor of the composite nature of the individual. The Greek King Milinda, or Menander, ruled in northwestern India about the middle of the second century B.C. According to the text he was converted to Buddhism by Nagasena.

Then King Menander went up to Venerable Nagasena, greeted him respectfully, and sat down. Nagasena replied to the greeting, and the King was pleased at heart. Then King Menander asked: “How is your reverence known, and what is your name?”  “I’m known as Nagasena, your Majesty, that’s what my fellow monks call me. But though my parents may have given me such name….it’s only a generally understood term, a practical designation. There is no question of a permanent individual implied in the use of the word.”

“Listen, you five hundred Greeks and eighty thousand monks!” said King Menander. “This Nagasena has just declared that there’s no permanent individuality implied in his name!” Then, turning to Nagasena, “If Reverend Nagasena, there is no permanent individuality, who gives you monks your robes and food, lodging and medicines? And who make use of them? Who lives a life of righteousness, meditates, and reaches Nirvana? Who destroys living beings, steals, fornicates, tell lies, or drink spirits?…..If what you say is true there’s neither merit nor demerit, and no fruit or result of good or evil deeds. If someone were to kill you there would be no question of murder. And there would be no masters or teachers in the [Buddhist] Order and no ordinations. If your fellow monks call you Nagasena, what then is Nagasena? Would you say that your hair is Nagasena? ” “No, your Majesty.” “Or your nails, teeth, skin, or other parts of your body or the outward form, or sensation, or perception, or the physic constructions, or consciousness?1  Are any of these Nagasena?” “No, your Majesty.””Then are all these taken together Nagasena? “No, your Majesty.” “Or anything other than they?” “No, your Majesty.” “Then for all my asking I find no Nagasena. Nagasena is a mere sound! Surely what your Reverence has said is false!”

ThenVenerable Nagasena addressed the King. “Your Majesty, how did you come here—on foot, or in a vehicle?”  “In a chariot.” “Then tell me what is the chariot? Is the pole the chariot?” “No, your Reverence.”  “Or the axle, wheels, frame, reins, yoke, spokes, or goad?” ” None of these these things is the chariot.”  “Then all these separate parts taken together are the chariot?” “No, your Reverence.” “Then is the chariot something other than the separate parts?” “No, your Reverence.” “Then for all my asking, your Majesty, I can find no chariot. The chariot is a mere sound. What then is the chariot? Surely what your Majesty has said is false! There is no chariot!……”

When he had spoken the five hundred Greeks cried “Well done!” and said to the King, “Now, your majesty, get out of that dilemma if you can!”  “What I said was not false,” replied the King. “It’s on account of all these various components, the pole, axle, wheels, and so on, that the vehicle is called a chariot. It’s just a generally understood term, a practical designation.”

“Well said, your Majesty! You know what the word ‘chariot’ means! And it’s just the same with me. It’s on account of the various components of my being that I’m known by the generally understood term, the practical designation Nagasena.”  [From Milindapanha]

1 The five components of individuality [Pancaskandhas]

Pencil drawing “self portrait” by Sonya Indira Abbysoekarno, 2008.

Six Animals and One Pillar

BEN_5154The parable of the six animals and one pillar appears in a Buddhist scripture. This is a story that Shakyamuni told people when he preached in an area to the north of Shravasti in ancient India:

A man kept six animals in his house: a dog, a bird, a poisonous snake, a fox, a sisumara ( a kind of crocodile), and a monkey. They were all tightly leashed to the single pillar of the house. They hated to stay inside, and each yearned to go to its favourite place.The dog longed for the village, the bird for the skies, the snake for a hole, the fox for a barrow, the sisumara for the sea and the monkey for the forest. Yet no matter how hard they struggled or strained, they were too securely tied to the pillar to be able to escape.

Shakyamuni Buddha continued:

The six animals represent our six senses or desires—-sight, hearing, smell, taste, touch and consciousness. Desires insatiably demand objects. The eyes yearn for beautiful colors, the ears for pleasing voices, the nose for its favorite fragrances, the tongue for good tastes, the body for agreeable textures and the consciousness for self satisfaction. Even though each of them vies with the other to gush forts, one will never be controlled by them if they are tightly tied to a pillar.

The single pillar, by the way, stands for a type of meditation.

 

Drawing by abbysoekarno, 2011.

 

 

 

12 Symptoms of a Spiritual Awakening

BEN_515212 symptomps of a spiritual awakening:

1  ) An increased tendency to let things happen rather that make them happen.  

2  ) Frequent attacks of smiling.      

3  ) Feelings of being connected with others and nature.      

4 ) Frequent overwhelming episodes of appreciation.  

5 ) A tendency to think and act spontaneously rather than from fears based on past experience.            

 6 ) An unmistakeable ability to enjoy each moment.    

 7 ) A lost ability to worry.                                          

8 ) A loss of interest in conflict.    

9 ) A loss of interest in interpreting the actions of others.  

10) A loss of interest in judging others.                

11 ) A loss of interest in judging self.  

12) Gaining the ability to love without expecting anything.

 

Drawing by abbysoekarno, 2011.